(KARYA DEWI ANDINI)
Pagi tiba, matahari dari ufuk timur
menerangkan hariku ini, burung – burung berkicauan seolah memberitahuku bahwa
pagi telah tiba. Tapi, entah kenapa aku seolah tak ingin lagi membuka kedua
bola mataku ini. Ku lihat foto ibu dan ayahku yan berada di posisi meja
belajarku. Ingin rasanya ku bakar foto itu hingga ku dapat melupakan mereka.
Tapi apa daya, ini bukanlah hal yang terbaik yang harusnya aku lakukan, karena
mereka tetaplah orang tuaku apapun itu yang terjadi.
Kubuka
pintu kamar, terdengar suara bising dari ruang keluargaku. Ternyata, itu hal
yang biasa terjadi. Lagi – lagi kedua orang tuaku bertengkar. Ingin rasanya aku
ikut campur dengan apa yang sedang mereka debatkan. Tentang apa, kenapa, dan
ada apa itu semua ingin ku utarakan kepada mereka berdua. Aku menderita, aku
terlampau sedih melihat ini terjadi. Seolah – olah tak ada keharmonisan yang
terjadi di rumah tangga kedua orang tuaku ini.
Sahabatku
rini selalu menjadi tempat keluh kesahku saat ini. Hanya dia tempatku berbagi
suka dan duka. Dia adalah sahabat terbaikku kala ini dan aku berharap kelak pun
begitu. Setiap kali mendengar nasehat yang dilontarkan dari mulut rini, senyum
terlintas pun menghiasi raut pipi dinda kala itu. Terlintas pun, ia terlupa
dengan keadaan ayah dan ibunya. Ayah dan ibu dinda orang yang sama – sama
mempunyai kedudukan yang tinggi dalam perusahaan swasta yang berbeda. Hingga
terkadang kedua orang tuanya selalu sibuk dengan urusan pekerjaan yang juga
terlupa tentang urusan anak semata wayangnya yang saat ini berada di kelas 3
SMP.
‘
Tuhan … Izinkanlah aku untuk berkata kepada ibuku, kepada ayahku untuk
menghentikan kekacauan di dalam rumah ini… Tuhan … Berikan aku kesempatan untuk
membahagiakan mereka Tuhan . Izinkanlah aku untuk berkata kepada mereka untuk
jangan bertengkar lagi. Masalah apa pun itu Tuhan. Aku butuh belaian kedua
orang tuaku. Aku butuh kasih sayang kelembutan tangan belaian kasih dari ibuku.
Mengertikan aku Tuhan. Aku tak dapat menopang ini sendirian. Tak puas rasanya
jika harus ku ceritakan semua kepada rini sahabatku. Ini terlalu berat untuk ku
alami sendirian tanpa rini.’
|
Pagi
berlalu menjadi siang, siang pun menjadi sore, tapi kedua orang tuanya tak
kunjung menampakkan raut wajahnya kala itu di rumahnya. Merasa jenuh, bosan,
dan sedih. Itulah yang dialami dinda. Dinda pergi berjalan – jalan tak jauh
dari rumahnya. Melintas dengan menghirup udara sore yang rindang membuat
kesedihan pun terlintas terlupakan. Ketika mata tertuju kepada seorang anak
seusia dinda yang saat itu berjalan – jalan sore dengan ibunya, membuat
berlinang air mata pada mata bulat dinda. Ia bersedih dengan keadaannya. Dia
merasakan iri yang luar biasa melihat orang seusianya sangat akrab dengan
ibunya. Ingin ia alami dan merasakan hal itu. ‘ andai itu dapat terjadi.
Bahagia nya hidupku, tak perlu kekayaan, tapi yang kubutuhkan kebahagiaan’ air
mata berlinang tapi tak satu pun tertetes membasahi pipi ini.
Aku
juga butuh kasih sayang mereka. Apa guna nya aku ini hidup jika aku tak pernah
mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuaku. Menangis, meratapi tak ada
artinya dalam hidupku. Semua tak akan berubah jika dari hati mereka tak
tersentuh hatinya melihat penderitaan yang ku rasa. Mendekati malam, aku
bergegas pulang ke rumah. Ku buka pintu, ku kisari ruangan demi ruangan dalam
rumahku. Terasa sunyi sepi dan keheningan dalam rumahku. ‘ayah..ibu.. kalian dimana??’
teriak hati kecilku memberontak karena kesepian. Terkadang aku merasa sangat
gembira dan sangat bahagia ketika mereka bersama. Itu saja telah membuatku
senang dan merasakan hal yang cukup bahagia dalam hidupku. Tapi, kenapa
kebahagiaan itu kini tergores dengan hiasan pertengkaran setiap harinya??
Yah.
Benar. Aku adalah manusia yang sangat menyedihkan. Dilahirkan oleh orang kaya
raya. Mau ini ada, mau itu juga tersedia, semua fasilitas yang mewah ada
tersedia di dalam rumah ini. Tapi, yang aku butuhkan bukan itu. Percuma saja
aku memiliki kemewahan dalam rumah ini, tapi kebahagiaan tak satu pun menghiasi
hati ini. Aku tertekan bu, aku tertekan yah.. aku ingin hidup, ingin hidup
merasakan udara dengan kalian berdua.
Sudah
bertahun – tahun lamanya aku menahan diri. Aku yang mulai beranjak dewasa tapi,
kedua orang tuaku masih saja seperti ini. Akhirnya aku memberanikan diri
menanyakan tentang apa yang selama bertahun – tahun ini yang mereka peributkan.
Alhasil, aku mendapat sebuah tamparan dari ibuku. Pukulan tangan yang melayang
ke pipiku, sangat membuatku merasa lebihh tersakiti.
“ Untuk apa kau pertanyakan hal seperti itu?
Ini urusan ibu dan ayahmu. Kau tidak berhak mengetahui itu semua. Lebih baik
kau masuk ke kamar, belajar dan tuntut ilmu mu. Jangan urusi urusan orang
dewasa.”
Bentak ibuku. Aku yang hanya bisa terdiam dan
meneteskan butiran – butiran air mata mendengar perlakuan ibuku yang tak biasa
nya ia lontarkan sekeras itu.
Bu,
aku ini anakmu… katakan sekali saja bahwa aku ini anakmu dan katakana sekali
saja bahwa kau menyayangi aku’. Sambil merintih menangis, dinda mengatakan kata
– kata itu. Aku mohon bu, mengertilah aku. Mengertilah posisi ku. Aku anak
kecil yang tumbuh dengan amat cepat belajar dewasa dengan pemikiran yang sangat
begitu menyulitkan di usiaku kini. Katakana itu bu, aku mohon… bahwa ibu sangat
sayang kepadaku.
|
Tiga bulan kemudian, semakin
hari raut wajah dinda semakin pucat. Rambutnya pun kian hari semakin menipis
saja. Rini sangat mengkhawatirkan mengenai dinda kala itu. Saat jam pelajaran
tiba, tetesan darah dari hidung membasahi buku tulis dinda.
‘Tuhan,
jangan biarkan ini terjadi. Aku belum melihat dan membuat kedua orang tuaku
merasa baikan. Tolong jangan biarkan ini terjadi.’
Ucap dalam hati. Terlihat
tetesan darah itu oleh rini.
“
ya ampun din, kamu dari tadi udah ku lihatin pucat sekali. Sekarang hidungmu
mengeluarkan darah. Tidak hanya itu, rambut mu yang dulu lebat, kenapa akhir –
akhir ini menipis din? Kamu sakit?”
“Serius
rin, aku sehat saja kok. Aku hanya demam sedikit rin. Udah deh, kamu jangan
cemas ampe gitunya deh. Emmm… tapi, makasih rin udah mau perduli sama aku
selama ini.”
Terlihat
wajah tak tega dan sedih dalam raut wajah rini terhadap apa yang di rasakan
oleh dinda sahabat sejatinya itu. Sambil menatap raut wajah sahabat nya dinda,
dalam hati berkata.
‘Tuhan
, tegarkan anak ini, berikan kebahagiaan sejati untuknya. Sehatkanlah dia.
Jangan sampai hati dan tubuhnya merasakan sakit yang membara’.
Sepulang
sekolah rini bercerita kepada ibunya, mengenai dinda yang pada akhir – akhir
ini terlihat tak sehat. Karena ibu rini adalah dokter spesialis penyakit dalam,
semua ciri – ciri yang ada pada dinda pun di tanyakan semua kepada ibunya.
Ternyata dinda mengalami penyakit yang begitu serius. Ia di diagnose mengalami leukemia akut, yaitu penyakit yang berkembang biak secara ganas di
dalam sumsum tulang atau kelenjar limfa, yang kemudian menyebar ke bagian tubuh
yang lain. Ini sering sekali disebut dengan kanker darah.
“
bu, apakah ada alternative yang baik
untuk mengobati kesembuhan penyakit dinda?” Tanya rini dengan tatapan linangan
air mata menatap ibu nya.
“ ya, tentu ada. Walaupun biaya yang akan
dikeluarkan tidak sedikit. Insyaallah, jika Tuhan menghendakinya, penyakit yang
diderita dinda pasti dapat terobati. Dia harus melakukan kemoterapi dan menggunakan obat – obatan. Jika alternative itu pun tak dapat di cegah maka dia harus menjalankan
terapi sinar, atau terapi biologi. Bahkan dia juga bisa melakukan alternative terakhir yaitu operasi transflasi sum – sum tulang belakang.
Jelas ibunya kembali.
Mendengar
perkataan ibunya tadi, rini pun meneteskan air mata sedihnya terhadap
penderitaan yang dialami sahabat sejatinya itu. Berat sudah beban yang dialami
dinda.
LLL
Keesokan
harinya, dinda pun dikabarkan tidak dapat masuk dan belajar di kelas seperti
hari – hari biasanya. Mulai tampak gelisah rini melihat dinda yang hampir 1
minggu tak masuk sekolah. Rini pun merasakan ke khawatiran yang luar biasa
mengenai sahabatnya itu. Sepulang sekolah ia pulang menuju rumah dinda yang
jaraknya tak jauh dari komplek perumahan rini. Terus dan terus ia mengetuk
pintu yang tak dikunci dan tampak tak berpenghuni itu. Tanpa ragu – ragu rini
masuk dan tak lupa mengucapkan kata permisi saat ia memasuki rumah itu. Lalu,
ia masuk menuju pintu kamar dinda. Dilihatnya, dinda yang sedang tekapar di
dalam kamarnya dengan wajah pucat, di pegangnya rambut dinda yang lusuh dan
rontok yang kian menipis itu.
“
dinda… bangun… aku mohon sebagai sahabatmu… aku mohon bangun dinda..”
Teriak dan menangis nya rini di pelukan
dinda. Segera rini menghubungi ibunya untuk membawakan ambulans ke rumah dinda.
Segera rini menghubungi ibunya untuk membawakan ambulans ke rumah dinda.
Ternyata, saat dinda telah sampai di rumah sakit dan sampel darah sudah di
ambil. Dinda mengalami leukemia yang
sudah parah sekali. Pahit sekali dengan apa yang telah ia rasakan kini.
Berulangkali
rini memohon supaya ibunya dapat menangani penyakit yang diderita dinda.
Ternyata alternative yang akan di jalani dinda sementara waktu ini adalah kemoterapi. Dengan sekuat tenaga ibu
berusaha untuk menyembuhkan dinda agar kembali menyadarkan dirinya. Tak tega
ibu melihat anak nya meneteskan air mata dan meminta demi kebaikan sahabatnya
sendiri, ibu pun mengizinkan permintaan anaknya itu. Dengan raut wajah bersedih
rini memasuki kamar ruang rawat yang ditempati dinda. Sambil memegang tangan
dinda ia menangis tanpa henti. Bercerita akan masa lalu tentang mereka sewaktu
kecil. Dan tiada hentinya rini memuji dinda yang sangat hebat untuk menguatkan
hatinya dalam semua masalah berat yang dialami oleh orang seusia dia. Tak
gentar hati, dan selalu tabah itulah dinda yang selama ini aku kenal. Dalam
setiap ulang tahunnya yang dialami nya satu yang menjadi harapan itu sampai
pada saat ini pun tak pernah terwujud untuk itu. Yaitu, kasih sayang yang tulus
dari belaian tangan seorang ibu dan kasih sayang ayah. Dia anak yang dewasa,
mandiri itu yang aku banggakan dari sahabatku dinda.
LLL
Sudah
seminggu lebih dinda mengalami koma.
Namun, batang hidung kedua orang tua dinda pun tak kunjung datang melihat
putrinya yang sedang terkapar di rumah sakit ini. Berulangkali ibuku
memberitahukan kedua orang tua dinda. Namun, mereka hanya dapat membalas pesan
singkat kepada ibuku.
‘
tolong jaga anak ku sampai dia sadar dan pulih kembali. Tolong rawat dia dengan
setulus hati. Saya tak dapat menemaninya saat ini, dikarenakan urusan pekerjaan
yang begitu sangat penting.’
Ternyata, bagi mereka pekerjaan lebih
penting dari kesehatan anak.
Keesokan
harinya, dinda pun sadar. Namun, ketika tak lama kondisinya membaik. Dinda
memberikan tanda – tanada buruk mengenai penyakitnya. Ibuku pun sigap
mengatasi.
“
tak ada cara lain selain melakukan transplasi sum – sum tulang belakang,
kemoterapi tidak dapat menjamin kembali dinda untuk selamat dari penyakitnya
itu.” Ucap ibuku.
Aku harus terus menerus
menghubungi kedua orang tua nya agar dapat memberikan sum – sum tulang
belakangnya untuk dinda putrinya. Tapi, nomor mereka tak dapat dihubungi terus
menerus. Akhirnya, aku mencoba mencocokan darahku kepada dinda. Namun, sia –
sia. Aku tak bisa melakukan itu semua untuk dinda.
Semakin
hari, kondisi dinda semakin memburuk. Aku sangat terpukul dan sangat sedih
melihat kondisi dinda seperti ini. Tiga hari berlalu. Nafas serta selang –
selang yang di tempelkan di sekujur tubuh dinda tak dapat menolongnya lagi.
Tanpa ku sadari, tangannya menggenggamku, pipinya dibasahi tangisannya, dan
berkata tersendak – sendak.
‘
rini, sampaikan kepada ibuku bahwa aku ingin mendengar bahwa ibuku sayang
kepadaku.’
Setelah
dinda mengatakan itu. Semua hening. Detak jantung dinda pun terhenti. Aku
menangis dalam ruangan itu.
“dinda….
Jangan tinggalin aku. Aku mohon jadilah sahabat terbaikku untuk selamanya.”
Setelah
kematian dinda, orang tuanya pun mendengar kabar itu. Bergegas mereka meminta
maaf kepada dinda. Tak lupa ku katakan pesan terakhir dinda yang diucapkannya
kepada ku untuk kedua orang tuanya.
“maafkan
ibu nak, ibu yang selalu tak pernah memahamimu, memperdulikanmu. Ibu sayang
dinda.”
Mengetahui
keadaan itu, mereka mengetahui betapa pentingnya kasih sayang mereka terhadap
seorang anak. Dan aku pun tak pernah lupa akan peran dinda sebagai sahabat
sejatiku. Walaupun ia kini telah tiada. Aku akan selalu ada untuknya.
The end
Created by
:
Nama :
Dewi Andini
Panggilan :
Andini
Alamat :
Jl. Insp. Yazid aspol km 2,5 Blok D.3 Palembang
Email :
andinijs@yahoo.co.id
Nim :
2011112225
Semester :
3 (TIGA) / E
Tidak ada komentar:
Posting Komentar