Kamis, 04 April 2013

sinopsis BOM WAKTU karya nano riyandianto



Naskah drama “Bom Waktu” karya N. Riantiarno yang dipentaskan oleh mahasiswa Sastra Indonesia (angkatan 2007+), yang merupakan mata kuliah di semester 5, kurang lebih bercerita tentang realitas kehidupan masyarakat urban di sebuah tempat lokalisasi kumuh di salah satu sudut kota motropolitan; tempat bagi orang-orang yang diabaikan tetapi kadang-kadang dibutuhkan.

Ungkapan “Ibu tiri tak sekejam ibu kota” tampaknya berlaku bagi Jumini, Roima, Djulini, Tuminah dan tokoh-tokoh lainnya yang harus bersusah payah menyambung hidup, sampai harus rela diperlakukan secara tidak adil dan terus dihantui penggusuran.Lingkungan tempat tinggal yang kumuh dan miskin membuat permasalahan begitu mudah muncul antar tokoh, seperti percintaan yang tak wajar, pertengkarang, penghianatan dan lain sebagainya. Pada lingkungan seperti itu hiburan tidak mudah ditemukan, sehingga seks merupakan hiburan yang bisa mendatangkan kepuasan lahir dan batin yang hampir menjadi rutinitas.

Realitas kehidupan sosial masyarakat kelas bawah yang hidup di tempat kumuh digambarkan pada tokoh-tokoh seperti Jumini, Roima, Djulini, Turkana, Tarsih, Tibal, atau juga Tuminah. Adapun Roima dan Djulini, merupakan dua orang yang tidak bisa lepas antara satu sama lain, mereka saling membutuhkan untuk mencapai kepuasan lahir maupun batin, dan kenyataan bahwa Djulini seorang waria tak menyurutkan keinginan mereka untuk menikah, meskipun pada akhirnya mereka berpisah. Ada juga Jumini, seorang istri sekaligus ibu yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa suami dan anaknya telah meninggal, menarik perhatian Turkana yang seorang pemulung. Abung yang gila yang selalu berusaha memikirkan makna hidup yang sebenarnya dengan berbagai persoalan yang tak pernah bisa ditemukan jalan keluarnya.

Di dalam kehidupan yang melarat, menjadi kaya adalah mimpi semua orang, meskipun sekadar bisa hidup layak pun tak apa-apa. Hal ini terlihat pada tokoh Sawil, Bilun, dan Tarsih. Sawil dan Bilun adalah seorang pemimpi yang bermimpi bisa kaya dan hidup layak dengan membuka usaha, mulai dari usaha jualan bakso, roti, minyak tanah, bawang, dan lainnya, tetapi tak punya modal sepeser pun sehingga yang mereka lakukan hanya bermimpi. Berbeda halnya dengan Tarsih, pelacur yang menjadi primadona ini sempat merasakan kemewahan saat dia diangkat menjadi istri simpanan seorang pejabat tua, sebelum akhirnya istri sang pejabat mengetahui dan mengusirnya.

Naskah drama ini menggambarkan kehidupan perkotaan yang keras tak ubahnya seperti kehidupan rimba, siapa kuat dia menang. Siapa-siapa yang dianggap sampah yang mengganggu, siapa-siapa yang dianggap bisa mendatangkan keuntungan, semuanya menjadi jelas dan dapat dimanfaatkan. Ini terlihat pada tokoh Camat, Kumis dan Bleki. Kumis, pejabat keamanan rendahan yang berlagak seperti pejabat tinggi. Sifat sombong, maunya menang sendiri, suka mengambil kesempatan dalam kesempitan dan licik sudah lekat dengan dirinya. Di belakangnya, Bleki, seorang penjilat yang selalu mengekor kepada Kumis.

Kegetiran juga dirasakan Tuminah, adik kandung Tibal, dua saudara yang mencoba peruntungan di kota sebagai petani sayur, rela menyerahkan keperawanannya kepada Kumis si hansip, agar lahan yang sudah ditanaminya dan sebentar lagi bisa dipanen tidak ikut digusur. Akan tetapi janji tinggal janji, keperawanan Tuminah hilang, lahan pertanian mereka pun ikut digusur.

Banyak nilai yang bisa diambil dari “Bom Waktu” ini, yaitu tentang kerasnya hidup di kota bagi masyarakat urban yang tidak memiliki keahlian apa-apa, tentang masyarakat yang tinggal di lingkungan kumuh yang setiap saat harus siap-siap tergusur, tentang masyarakat tertindas dan masyarakat penindas, tentang komitmen tenggang rasa yang dibenturkan dengan kepentingan-kepentingan pribadi. Dan tentang janji pejabat, tentang kesejahteraan yang dijanjikan yang ternyata itu semua hanya sebatas janji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar